Jelang lengser dari jabatannya sebagai Walikota Surabaya, Tri Rismaharini bakal meninggalkan banyak pekerjaan rumah (PR), janji dan dosa-dosa, khususnya kasus lingkungan hidup di Surabaya.
Sorotan ini disampaikan Tim Peneliti Jaringan Pemuda Surabaya (JAPAS), sesudah melakukan evaluasi kinerja Walikota Surabaya dalam dua periode menjabat.
M.H. Sholeh Ketua Umum JAPAS mengatakan, ada banyak kasus besar yang belum dituntaskan Risma selama memimpin Surabaya. “Ini membuktikan kalau Risma, lebih mengutamakan pencitraan dan sensasi, dibanding kinerja yang maksimal untuk melayani warga Surabaya,” kata Sholeh.
Diantara kasus-kasus besar yang jadi PR Risma dan belum dituntaskan bahkan tidak ada hasil yang nyata, seperti kasus reklamasi Pantai Timur Surabaya (Pamurbaya) dan Pantai Utara Surabaya (Panturbaya). “Pengembang semakin bebas merusak kawasan pesisir Surabaya yang harusnya dilindungi, karena di sana tempat tinggal beragam ekosistem, tapi dibiarkan rusak tanpa kebijakan yang tegas untuk mengelola dan mengawasi dengan ketat. Dampaknya ribuan hektar mangrove yang jadi rumah untuk ikan dan satwa lain di Surabaya sudah punah, khususnya yang ada di Surabaya Timur,” terang Sholeh.
Selain itu, kata Sholeh, kasus pembangunan beberapa hotel dan apartemen di Surabaya, selama masa pemerintahan Risma, juga banyak menimbulkan masalah. “Tidak hanya dengan warga yang terdampak, tapi juga mengancam kesehatan warga yang tinggal di sekitar hotel atau apartemen sebelum izin pembangunannya diberikan Risma,” papar Risma.
Kasus atau konflik pembangunan Apartemen Gunawangsa Tidar yang jelas-jelas menginjak-injak hak asasi manusia warga di sekitar Asembagus dan Asemrowo, jadi bukti buruknya kebijakan pemerintahan Risma yang sampai sekarang tidak bisa dituntaskan. “Warga sudah bisa menilai dan memahami siapa Risma sebenarnya. Gitu kok dapat penghargaan Walikota Terbaik, itu penghargaannya beli atau gimana. Dulu khan pernah kasus, bahwa dia ketahuan beli penghargaan di luar negeri. Ini memalukan,” sesal Sholeh.
Tidak ketinggalan juga, kata Sholeh, kasus pencemaran lingkungan di kawasan industri dan pemukiman yang dibiarkan tanpa ada sanksi tegas pada pelakunya, membuktikan tidak adanya komitmen Risma dalam penegakkan hukum lingkungan hidup di Surabaya.
“Banyak industri dan perusahaan di lingkungan pemukiman yang menghasilkan limbah Bahan Berbahaya Beracun (B3), tapi dbiarkan begitu saja proses pengelolaannya, padahal penanganan limbah B3 sangat berbeda jauh dengan limbah organik dan anorganik,” ungkap Sholeh.
Ketum JAPAS ini juga mengingatkan warga Surabaya tentang dosa Risma pada warga Surabaya, dalam kasus penjarahan ratusan satwa di Kebun Binatang Surabaya (KBS) yang terjadi di waktu KBS masih diambil alih Tim Pengelola Sementara (TPS) sekitar tahun 2012-2013 lalu. “Dalam kasus itu, Risma tidak benar-benar maksimal untuk memperjuangkan dan mempertanyakan hilangnya ratusan satwa dilindungi yang sebenarnya menjadi aset negara dari KBS. Waktu itu, Pemkot Surabaya menerima proses pengelolaan KBS dari TPS tanpa melakukan verifikasi atau pendataan lebih dulu, satwa-satwa yang ada dan yang hilang dari KBS, sehingga ini sangat merugikan negara dan warga Surabaya khususnya,” kata Sholeh.
Menurut Mantan Aktivis Mahasiswa ini, kasus hilangnya satwa KBS jadi tanggung jawab Risma, karena di tahun 2014 lalu sudah pernah dilaporkan Risma ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tapi tidak diupayakan semaksimal mungkin untuk bisa memenjarakan pelakunya, yang orang-orangnya sudah sangat jelas terlibat. “Selama proses penjarahan satwa di KBS itu, jelas ada kerugian negara yang dialami, harusnya kalau Risma punya komitmen tegas dengan aset KBS, maka Risma bisa minta kembali satwa yang ditukar dengan barang dan uang, untuk dikembalikan ke KBS atau dilepasliarkan ke habitatnya, karena over populasi di KBS,” jelas Sholeh.
Sholeh berharap, masih ada warga yang mau peduli dengan kasus penjarahan satwa di KBS itu, karena kasus itu sempat menarik perhatian dunia internasional, khususnya pemerhati satwa dan pegiat lingkungan hidup di Indonesia dan luar negeri. “Ini kasus besar yang belum tuntas di eranya Risma, dan ini harus kembali diusut, agar pelakunya bisa segera ditangkap dan dipenjarakan, karena orang yang terlibat semua masih hidup sampai sekarang dan menikmati uang dari satwa yang sudah dijarah,” pungkas Sholeh. [GIR]